Bisakah
ku bermimpi tentang hari esok ? dan Apa yang ku dapat hari ini ?Akankah sama
seperti kemarin ? Bagaimana dengan yang dulu ? Bisakah sama indahnya ?
Mentari
mulai terbit. Terlewati waktu hanya dengannya. Seakan mengingatkan tentang
janji dua bocah kecil di masa lalu. Walau hanya sebuah tulisan bukan sebuah
kiasan. Berharap semoga abadi.
“
Jingga, kita di takdirkan untuk dipertemukan bukan untuk dipisahkan,” hanya
sepenggal kalimat, yang mungkin bermakna.
“
Jangan kau ragu. Ada aku disampingmu !!” Jingga mencoba menyakinkan Mentari.
“
Tahukah kau Mentari, tangan ini punya Tuhan. Yang ia titipkan kepada ku, kan ku
gunakan untuk menjaga mu,” tutur Jingga kepada sang Mentari sembari melempar
senyum dari bibir yang merah merekah.
Sang
Mentari hanya tertunduk diam, dan sedikit membisu. Namun, tak dapat terpungkiri
hatinya berbisik lirih. “ Jingga itu bagaikan nyawaku Tuhan. Jingga itu duniaku
Tuhan. Kau ciptakan ia untuk menemaniku, agar aku tak pernah kesepian. ” Tatapan
yang awalnya kosong, mulai berganti hujan kesedihan.
Jingga
menatap wajah Mentari, dengan kelembutan nada bicara ia bertanya “ Mengapa kau
menangis Mentari ? Siapa yang membuat hatimu terluka ? Katakan saja pada ku.”
sambil ia sodorkan bahunya. “ Ini bahuku Mentari, tempat biasanya kau bersandar
apabila kau lelah.”
“
Mungkin selama ini dihidup ku hanya ada dirimu, Jingga. Tanpa ada seorang pun
mengusik semuanya. Tapi….jika suatu saat kehendak Tuhan berkata lain, bagaimana
aku tanpa mu ?” pertanyaan yang terlontar dari mulut Mentari sambil menghapus
air matanya.
“
Hei….mengapa dirimu ragu dengan Tuhan, Mentari ? Bukankah selama ini dia cinta
dengan mu ? Tanpa Nya, mungkin kita tak ada bukan ?”